MUARO JAMBI | Mandhala.Info – Warga Desa Pijoan, Kecamatan Jaluko, Kabupaten Muaro Jambi, kini benar-benar geram. Tumpukan limbah cangkang sawit yang diduga kuat milik Pak De Kabul di samping Ram Sawi, tanjakan Setiti arah Bulian sebelah kiri jalan, telah berubah menjadi sumber pencemaran lingkungan yang parah.
Gunungan cangkang sawit itu menjulang seperti bukit kecil, menebar bau menyengat dan debu hitam pekat setiap kali angin berhembus atau kendaraan melintas. Debu beterbangan hingga masuk ke rumah-rumah warga, menempel di dinding, bahkan mengganggu pernapasan anak-anak.
“Setiap hari kami hirup debu dari limbah itu. Rumah kotor, napas sesak, anak-anak batuk-batuk. Tapi tak ada yang peduli,” ujar seorang warga dengan nada kesal, Selasa (07/10/2025).
Lebih ironis lagi, meski keluhan warga telah lama disampaikan, pihak berwenang justru bungkam. Aktivitas di lokasi tetap berlangsung bebas, seolah kebal hukum. Publik pun menilai ada pembiaran terstruktur yang mencoreng citra penegakan hukum di Kabupaten Muaro Jambi.
Padahal, praktik semacam ini jelas menabrak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama Pasal 98 dan 99, yang tegas mengatur ancaman pidana bagi pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan.
Tak hanya itu, menurut informasi warga, limbah sawit tersebut didatangkan dari luar Daerah, seperti Muaro Bungo dan Sarolangun, untuk kemudian ditumpuk di lokasi tanpa izin Amdal. Aktivitas ilegal ini tak hanya mencemari lingkungan, tapi juga mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar.
Warga mendesak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Muaro Jambi agar segera menutup lokasi tersebut dan memproses hukum pihak yang terlibat, termasuk pemilik yang disebut-sebut bernama Pak De Kabul.
“Kalau dibiarkan terus, bukan hanya udara yang tercemar, tapi juga nama baik Pemerintah Daerah yang hancur, karena dianggap tak berdaya menghadapi pelaku pencemar lingkungan,” tegas seorang tokoh masyarakat setempat.
Fenomena ini menjadi tamparan keras bagi aparat penegak hukum dan DLH Muaro Jambi, yang selama ini dinilai tutup mata terhadap pelanggaran lingkungan hidup yang terjadi di wilayahnya.
Akademisi hukum lingkungan, Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, menilai perbuatan semacam ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Pencemaran lingkungan adalah kejahatan terhadap hak dasar manusia untuk hidup sehat sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Negara tak boleh diam,” tegasnya.
Jika DLH dan APH terus berdiam diri, maka publik pantas bertanya: apakah hukum di Muaro Jambi masih berpihak pada rakyat, atau justru pada para pencemar lingkungan?
Dessy
Kaperwil