BUNGO I Mandhala.Info – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Bungo kembali mengundang sorotan tajam. Setelah sebelumnya mencuat di kawasan Jalan Lintas Muaro Bungo–Jambi, kini aktivitas serupa ditemukan marak di Dusun Babeko, Kecamatan Bathin II Babeko, tepatnya di Pulau Sewang, aliran Sungai Batang Tebo.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, ratusan rakit PETI kini bebas beroperasi di kawasan tersebut. Ironisnya, lokasi tambang ilegal itu diduga berada di atas tanah milik salah satu oknum aparat penegak hukum (APH) berinisial DS.
Aktivitas ini dikabarkan dikoordinir oleh tiga bos besar berinisial A, H, dan Y, warga Dusun Tanjung Menanti. Mereka mengerahkan pekerja untuk mengoperasikan rakit-rakit bermesin dompeng yang menimbulkan kebisingan, merusak ekosistem, dan mencemari air Sungai Batang Tebo.
“Kami takut melapor, karena yang punya lahan katanya orang kuat. Kami hanya bisa melihat Sungai kami makin rusak,” ujar seorang warga dengan nada cemas.
Kondisi Sungai Batang Tebo kini memprihatinkan. Air yang dahulu jernih kini berubah menjadi keruh kecoklatan, ikan-ikan banyak mati, dan abrasi mulai mengancam permukiman warga di tepi sungai.
Sebelumnya, aparat gabungan memang sempat melakukan razia di sejumlah titik, namun operasi itu tidak pernah menyentuh Pulau Sewang lokasi inti aktivitas tambang ilegal. Fakta ini memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat: mengapa razia berhenti di pinggiran, bukan di pusat aktivitas?
Masyarakat Bathin II Babeko kini menuntut tindakan nyata dari aparat penegak hukum. Mereka meminta Kapolda Jambi untuk turun langsung ke lokasi dan menindak tegas para pelaku PETI serta oknum yang diduga membekingi.
“Kami mohon kepada Kapolda Jambi agar benar-benar menindak tegas para pelaku PETI dan oknum yang membekingi mereka. Kalau dibiarkan, kami khawatir Sungai Batang Tebo akan mati,” tegas salah satu tokoh masyarakat.
Aktivitas PETI ini jelas melanggar hukum. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, pelaku tambang tanpa izin dapat dipenjara hingga 5 tahun dan didenda hingga Rp100 miliar.
Selain itu, pencemaran lingkungan akibat aktivitas PETI juga dapat dijerat Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Akademisi hukum Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, S.Pd.I, SE, SH, MH, LLB, LLM, Ph.D, menilai bahwa lemahnya penegakan hukum dan dugaan keterlibatan oknum aparat menjadi akar utama maraknya tambang ilegal di Daerah.
“Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Jika benar ada keterlibatan oknum aparat, maka itu pelanggaran serius terhadap integritas institusi. Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan kelompok tertentu,” tegasnya.
Ia menambahkan, pembiaran terhadap aktivitas PETI bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan kejahatan terhadap lingkungan dan kemanusiaan.
“Kerusakan Sungai bukan sekadar soal pencemaran. Ini soal hak hidup masyarakat dan keberlanjutan alam. Aparat harus bertindak cepat dan tegas, bukan menunggu tekanan publik baru bergerak,” ujarnya.
Masyarakat berharap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Jika dibiarkan terus-menerus, Sungai Batang Tebo bisa mengalami kerusakan permanen, yang akan berdampak luas pada kehidupan sosial dan ekonomi warga.
PETI bukan sekadar tambang ilegal, Ratusan Rakit PETI Bebas Beroperasi di Batang Tebo, Diduga di Lahan Oknum APH, Sungai Kian Rusak! adalah Bom waktu ekologis yang mengancam generasi mendatang.
Dessy
Kaperwil